Saturday, October 21, 2006

Khutbah Ied : Menjadikan Idul Fithri Momentum Kebangkitan

(posted in makalah)

Allahu Akbar walillahil hamd
Setiap muslim/muslimah yang telah menunaikan ‘ibadah shiyam ramadhan dengan baik niscaya merasakan suatu kebahagiaan yang sulit dilukiskan dengan kata-kata. Itu sudah menjadi hak insan yang shaim untuk meraih kebahagiaan dunia akhirat. Dan kebahagiaan ini makin mekar karena ditambah dengan syukur ni’mat atas kesempatan serta taufiq yang Allah telah karuniakan kepada diri kita. Sehingga kita menikmati kersyukuran di dunia sebelum kenikmatan bersyukur di akhirat.

“Segala puji bagi Allah yang telah membimbing kita menunaikan ‘ibadah (ramadhan) ini, dan kita tidak dapat menyelesaikannya seperti ini tanpa bimbingan Allah”.(Al A’raf: 43)

Dalam kebahagiaan ini kita merasa “aqrab” lebih dekat lagi kepada Allah, lebih mantap dengan kebenaran ajaranNya, lebih yakin terhadap janji serta ancamanNya, lebih lezat menyebut asma Allah dan bershalawat kepada kekasihnya Muhammad Rasulullah saw. Masjid sebagai tempat sujud pun serasa lebih lekat di hati kita. Demikian itu karena dengan shiyam, baca kita telah merecovery hubungan secara total dengan Maha Pencipta. Maka kesadaran sebagai hamba Allah makin menyatu dalam kalbu. Karena memang kita adalah hambaNya dimanapun dan kapanpun juga, dalam posisi apapun juga. Sebagai hamba Allah dengan sepenuh hati, segenap fikiran dan raga kita. Kita makin mantap bahwa semua perkataan dan perbuatan harus mncerminkan kehambaan (‘ibadah) kepada Allah. Baik saat berada di mesjid atau di pasar dan kantor.

Ketika kita bersuka cita atau waktu berduka, saat tertawa ataupun marah, kita tetap hamba Allah. Kita tidak ingin dalam semua hal itu menyimpang jadi hamba hawa nafsu atau hamba syaitan. Demikian itu karena dengan shiyamu ramadhan kita telah merecovery hubungan dengan jiwa kita sendiri. Mengikis sisa-sisa jiwa syaithaniyah yang ingin mengorbankan sesama, atau nafsu kebinatangan yang buas (sabu’iyah) atau binatang pada umumnya (bahimiyah) yang tidak punya rasa malu dan tidak mempertimbangkan halal-haram. Mengupgrade jiwa kita ke tingkat spirit kemalaikatan (al malakiyah) yang jauh dari ma’siat serta selalu taat; dan dalam menjalankan tugas dari Allah tidak berhenti sebelum selesai dan tuntas (murabathah). Dengan semangat malakiyah ini ada dorongan untuk mendahulukan memberi/berkontribusi daripada mengharap, untuk menunaikan kewajiban daripada menuntut hak. Dengan shiyamu ramadhan kitapun telah meecovery hubungan dengan sesama dan lingkungan. Untuk shiyam yang maqbul setiap perbuatan yang “laghwun” tidak manfaat kita hindari, perbuatan “’abatsun” yang menodai/merusak lingkungan kita tinggalkan, dan setiap “rafatsun” perkataan yang tidak santun kepada sesama kita jauhi. Apalagi bentuk-bentuk kezhaliman telah ditalak tiga untuk tidak diruju’ kembali.

Allahu Akbar walillahilhamd
Setelah melakukan mushalah syamilah (total recovery) dalam relasi-relasi kita dengan Allah, dengan diri sendiri dan dengan lingkungan social serta lingkungan alam, maka kita kembali pada kehidupan yang fithri, tidak ada noda kezhaliman di dalamnya. Pekerjaan berikutnya pasca recovery adalah melakukan “ri’ayah syamilah” (total maintenance). Dengan menjaga betul-betul hubungan yang baik (fithri) dengan Allah, dengan diri sendiri dan lingkungan kita, agar tidak ternodai atau tercemari lagi. Untuk keperluan ini kita dapat melakukan beberara upaya. Antara lain, dengan menghadirkan rasa syukur sebelum memulai setiap aktifitas. Dengan semangat syukur ada energi tambahan yang mampu meningkatkan kualitas ‘ibadah dan amal shaleh kita. Langkah kita akan terasa lebih ringan tetapi mantap, dan gerak langkah kita lebih enerjik insya Allah. Cara ini kita perkuat dengan melakukan mutaba’ah yaumiyah (monitoring harian) melalui inventarisasi apa-apa agenda yang harus dikerjakan dan apa saja pantangan penggoda yang harus dihindari, di akhir mutaba’ah kita lakukan muhasabah (evaluasi) setiap kita menjelang tidur malam; kita ucapkan alhamdulillah untuk setiap prestasi dan astaghfirullah untuk setiap kekurangan sambil bertekad memperbaikinya besok hari.

Allahu Akbar walillahilh
Dengan ruhaniyatul shiyam, spiritualitas ramadhan dan nur al Quran di bulan al Quran, kalbu insan beriman menjadi sehat dan kuat sebagai pertanda hati yang hidup (al qulub al hayyah). Ini memberi harapan untuk membuka lembar kehidupan yang lebih baik/lebih maju dari sebelumnya. Dampak positif shiyam dan al Quran kepada generasi pertama ummat Muhammad saw, dapat terjadi pada generasi Muslimin kapan saja, atau paling tidak mendekati, jika kita punya kesungguhan yang sama. Mengutip ungkapan seorang mujahid dan syahid da’wah Hasan al Banna: “Al Quran adalah nur dari Allah yang memberi kekuatan hidup pada hati yang hidup. Telah memberi generasi pertama ummat Muhammad saw kehidupan yang baru dalam segala hal. Menghidupkan mereka dari kejumudan, mengintegrasikan mereka dari disintegrasi, merubah kemiskinan mereka jadi kaya, mengangkat mereka menjadi pemimpin dunia, menyeru manusia pada keadilan, kedamaian dan kebahagiaan. Mereka adalah model yang hidup bagi kalbu yang hidup”. Demikianlah watak al Quran sepanjang masa ketika menemukan hati yang hidup. Sebagaimana firman Allah:

أومن كان ميتا فأحييناه وجعلنا له نورا يمشي به في الناس كمن مثله في الظلمات ليس بخارج منها
“Apakah orang yang tadinya mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan dan Kami jadikan baginya cahaya yang menerangi (aktifitas hidupnya) di tengah-tengah manusia, sama dengan yang berada dalam kegelapan dan tidak (mau) keluar darinya ?” (Al An’am: 122)



Allahu Akbar walillahilhamd
Dengan hati yang hidup berkat shiyam dan al Quran, alhamdulillah telah terjadi ‘imaratul qulub” kemakmuran hati. Berarti telah ada situasi yang kondusif untuk melakukan “’imaratul kaun wal mujtama’” memakmurkan kehidupan kita dengan lingkungan social budaya dan lingkungan alamnya. Sebab kehidupan itu sesungguhnya ada dalam hati dan dimulai dari hati. Kemakmuran pun dimulai dari kemakmuran hati. Kemiskinan dan kekumuhanpun akibat kemiskinan dan kumuhnya jiwa manusia. Kelapangan hidup dari kelapangan hati, yang mampu meringankan beban dan mengangkat martabat manusia. Demikian dijelaskan dalam Surah Al Insyirah (kelapangan).

Statemen surah ini secara harfiyah ditujukan kepada Rasulullah saw tetapi pesannya untuk seluruh ummat beliau. Maka daya ketercerahan serta kelapangan yang diberikannya bukan hanya untuk beliau tapi juga untuk kita selaku ummatnya. Dengan merespon pesan yang dikandungnya, yaitu: “apabila kamu telah menyelesaikan suatu pekerjaan, maka bangkitlah untuk mengerjakan yang lainnya, dengan penuh harap akan bimbingan Rabbmu”. Insya Allah kita layak mendapatkan janji Allah “Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada solusi untuk kemudahan, sesungguhnya bersama kesulitan itu ada solusi untuk kemudahan”. Di sini ditegaskan “ma’al ‘usri” bukan “ba’dal ‘usri” Artinya solusi itu begitu dekat, langsung bersama menyertai bukan sesudah kesulitan itu terjadi.

Allahu Akbar walillahilhamd
Keterpurukan hidup bahkan musibah yang menimpa kita tidak terlepas dari perbuatan kita sendiri. Bahkan berkat kasih sayang Allah banyak perilaku kita yang salah tidak langsung berbalas dengan musibah. “Dan apapun musibah yang menimpa kamu sekalian adalah akibat perbuatan kalian, dan Allah membebaskan banyak perbuatan salah (dari musibat)”(Al Syura: 30)
Dengan demikian keterpurukan dan musibah adalah karena keterpurukan dan musibah yang terjadi pada diri dan komunitas manusia. Kita semua harus berupaya sungguh-sungguh (bermujahadah) agar ‘ibadat ramadhan kita tahun ini mampu menghadirkan peluang untuk kebangkitan dari keterpurukan dan recovery dari musibah. Satu hal mendasar yang harus dilakukan adalah setelah memakmurkan hati kita dengan ramadhan,kita harus memelihara suasana hati yang ma’mur, lapang dan sarat dengan semangat kebaikan, serta menggerakannya kearah upaya-upaya kebangkitan dan recovery. Kebangkitan pada tingkat individu, kebangkitan dalam kehidupan rumah tangga, kebangkitan institusi dan korporasi, kemudian kebangkitan di negeri ini.

Tapi apa saja yang harus dilakukan oleh umat dan masyarakat untuk bangkit?
Pertanyaan besar ini dijawab oleh penulis buku Nazharat fil Kitabillah di bawah title “Wazhifatul Ummah al Nahidhah”. Menurutnya ada sejumlah hal penting yang mesti dilakukan, yaitu:
Selalu ingat akan tujuan dan cita-citanya yang luhur
Mengetahui pada tahapan apa ummat ini berada, dan apa yang dicapai harus dijadikan modal bagi capaian berikutnya
Memelihara dan menggelorakan semangat mujahadah, selama itu ada berarti ummat memiliki modal kebaikan, dan jika mulai bersifat eksploitatif adalah awal dari kekalahan
Siap berkorban memikul beban dan membanting tulang. Pengorbanan harus diyakini sebagai keuntungan, lebur di jalan kewajiban adalah survive
Mengilhami semangat kemenangan dengan shalat dan sabar. Shalat untuk memenuhi jiwa dengan kekuatan spiritual, dan sabar dalam memelihara serta mendayagunakan kekuatan ini semaksimal mungkin, ketika mulai layu disegarkan kembali dengan shalat.

Allah ًٍberfirman: “Mintalah pertolongan dengan kesabaran dan shalat” (Al Baqarah: 153)
Shalat berarti kemakmuran hati dan sabar berarti kemakmuran dalam berusaha untuk meningkatkan dan memperbaiki kondisi yang ada.

Allahu Akbar walillahilhamd
Jika kita kritisi kondisi kita sebagai ummat dengan petunjuk ayat tersebut, akan nampak bahwa kebanyakan dari kita berada pada posisi yang salah, tidak sesuai dengan pesan Kitabullah. Sebagian kita terpuruk karena kemalasan ganda (kasal murakkab), malas menunaikan shalat malas pula berusaha dengan sabar membanting tulang. Tidak sedikit warga masyarakat dan ummat kita yang menjadikan “tasawwul” jajaluk sebagai profesi. Apakah peminta-minta kumal hanya untuk mendapatkan uang recehan, atau peminta-minta berdasi untuk kepentingannya sendiri. Tentu tidak masuk dalam pengertian ini yang mengusahakan dana bagi kepentingan social.

Posisi keliru yang kedua bahwa lebih banyak lagi saudara kita yang mencukupkan shalat dan do’a tapi tidak menjalankan kewajiban sabar dalam berusaha. Seorang yang punya tipe seperti ini pernah dimarahi dan diusir oleh Umar bin Khatab, dengan mengatakan: Berdirilah wahai fulan dan berusahalah, sesungguhnya langit tidak akan pernah menurunkan hujan emas atau perak (uang). Posisi keliru yang ketiga adalah bahwa di antara sudara kita mengikuti cara berusaha ala sekuler, yaitu bekerja keras bahkan sangat keras untuk mengumpulkan alat-alat pemuas, tapi tidak disemangati dengan shalat. Sehingga dalam usahanya tidak menghadirkan Allah, tidak memperdulikan soal halal-haram.

Pendidikan ramadhan mengajarkan kepada insan-insan beriman agar menjauhi/meninggalkan tiga model kesalahan tersebut. Dengan hati yang sudah dimakmurkan oleh shiyam dan al Quran, kita mantapkan posisi Qurani dalam meningkatkan kualitas hidup kita. Dalam menolong diri sendiri, menolong keluarga dan masyarakat, yaitu dengan kekuatan shalat dan sabar dalam berikhtiar. Bahkan ketika menghadapi persaingan dengan pihak lain, kita diminta untuk menguatkan kesabaran dan murabathah, terus menekuni tidak melepaskan medan usaha kita. Dalam Ibadat ramadhan ini kesabaran kita ditempa, sehingga bulan ramadhan diidentikkan dengan bulan kesabaran (syahrul shabri). Dan secara khusus ‘ibadah shaum yang dijalani dengan benar mempunyai efektifitas yang tinggi dalam menempa kesabaran. Sabar dalam pelbagai sisinya yang dituntut, sabar dalam tha’at kepada Allah, sabar dalam menjauhi perbuatan ma’siat, dan jika ditimpa musibat dijalaninya pula dengan penuh kesabaran. Kemudian fakta historis berbicara bahwa pelbagai kemenangan jihad ummat Islam di bulan ramadhan adalah berkat tempaan kesabaran dalam menghadapi musuh. Kesabaran optimal yang dibalut dengan taqwa sebagai puncak output puasa, akan mengantarkan kepada “al falah” kemenangan dan kebahagiaan di dunia ini sebelum di akhirat kelak.
Allah swt berfirman:

“Wahai orang-orang yang beriman, sabarlah dan kuatkan kesabaranmu serta merapatkan kemedan juang, dan bertaqwalah kepada Allah supaya kamu sekalian meraih kemenangan/kebahagiaan” (Ali ‘Imran: 110)

Semoga ‘iedul fihri hari ini memberikan enegi kepada kita untuk bangkit, pada tingkat pribadi dan keluarga, serta menghadirkan kebangkitan bagi ummat serta bangsa kita. Amin ya Rabbal ‘alamin …!!

Do’a ….(KH. DR. Surahman Hidayat, MA)

No comments: