Tuesday, October 24, 2006

Etos Bisnis Kaum Santri

(posted in makalah)

"Hendaklah kamu berdagang, karena di dalamnya terdapat 90 persen pintu rezeki" (H.R. Ahmad).

Orang Islam malas dan miskin. Tuduhan yang menyakitkan. Sayangnya, begitulah kenyataan yang ada. Dalam kurun 1.000 tahun terakhir, di banyak bidang percaturan --politik, budaya, dan terutama ekonomi-- kaum muslim jauh tertinggal dibandingkan dengan kelompok masyarakat lain di dunia.

Lihatlah fakta-fakta berikut. Dari 56 negara mayoritas muslim, masing-masing memiliki rata-rata 10 universitas, yang berarti total lebih kurang 600 universitas, untuk 1,4 milyar penduduknya. Bandingkan dengan India yang memiliki 8.407 universitas. Sementara Amerika Serikat punya 5.758 universitas.

Dari 1,4 milyar warga muslim hanya menghasilkan delapan peraih Hadiah Nobel, dua di antaranya untuk bidang fisika. Sementara baca
bangsa Yahudi, yang jumlahnya hanya 14 juta jiwa, ternyata mampu meraih 167 Nobel. Untuk mereka yang layak disebut ilmuwan pun, kaum muslim hanya punya kurang lebih 300.000 orang. Artinya, kaum muslim hanya memiliki 230 ilmuwan per satu juta warganya.

Sementara Amerika memiliki 1,1 juta ilmuwan (4.099 per satu juta) dan Jepang punya 70.000 (5.095 per satu juta). Untuk lingkup lebih sempit, yakni di negeri Nusantara ini, keadaannya tidak jauh berbeda. Sampai tahun 2000-an, kaum muslim Indonesia termasuk dalam kelompok marjinal. Terutama dalam percaturan ekonomi dan bisnis nasional.

Fakta yang jelas memprihatinkan. Padahal, Clifford Geertz meyakini, para santri (muslim) Indonesia bakal menjadi elite pengusaha Indonesia di masa depan. Kesimpulan ini diambil setelah antropolog dari Amerika Serikat itu melakukan penelitian mendalam di kalangan santri reformis Jawa pada 1950-an.

Geertz menemukan bahwa entrepreneurship (jiwa kewirausahaan) mereka sangat tinggi. Terlihat memang bahwa di beberapa enklave bisnis (Laweyan, Pekajangan, Ceper, Juwiring, dan lain-lain) di Jawa, para santri bisa "jumawa". Merekalah sang juragan. Etos bisnis yang mereka tampilkan jauh melampaui kelompok mana pun, termasuk kalangan Tionghoa. Berbagai industri, antara lain tenun dan batik, ada dalam genggaman tangan mereka. Tidak ada yang menyangka mereka bakal mudah tersungkur, sebagaimana diramalkan Geertz.

Tapi kita tahu kemudian, teori Geertz bahwa mereka akan menjadi pemain terdepan dalam bisnis nasional ternyata meleset. Setidaknya, kita bisa saksikan bisnis kaum santri itu begitu mudah bergelimpangan. Tumbang. Jangankan untuk bermain dalam skala nasional, apalagi merambah pasar internasional. Untuk taraf persaingan lokal pun mereka tak mampu.

Adakah Geertz keliru menarik kesimpulan? Di mana salahnya? Baiklah, kita tidak usah mencari kambing hitam. Bagaimanapun, potensi santri (kaum muslim) untuk bangkit dari keterpurukan tetap ada. Islam mengajarkan pemeluknya agar berwirausaha. "Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasulnya, dan orang beriman akan melihat pekerjaanmu" (Q.S. 9:105).

Nabi Muhammad SAW dan sebagian besar sahabat adalah para pedagang dan entrepreneur mancanegara. Tidak berlebihan karenanya bila dikatakan bahwa etos entrepreneurship sudah melekat dan inheren dengan diri umat Islam. Bukankah Islam adalah agama kaum pedagang, lahir di kota dagang, dan disebarkan ke seluruh dunia oleh kaum pedagang?

Dalam konteks sejarah dunia, etos bisnis umat Islam memang mengungguli etos bisnis bangsa mana pun di dunia ini. Peter L. Bernstein (The Power of Gold, John Wiley and Sons, 2000) secara eksplisit mengakui kehebatan bisnis pedagang muslim.

Dan kita tahu, sejarah penyebaran Islam ke berbagai penjuru dunia, sampai abad ke-13 M, pun dilakukan oleh para pedagang muslim. Hal itu menjadi bukti lain bahwa etos bisnis (dagang) kaum muslim sangat tinggi, yang menyeruak hingga mancanegara.

Termasuk keberadaan Islam di Indonesia. Adalah para pedagang yang membawa dan menyebarkannya. Selain ilmu agama, mereka juga mewariskan keahlian berdagang ke masyarakat, khususnya di kalangan masyarakat pesisir.

Terbukti kemudian, daerah-daerah yang penyebaran Islamnya kuat memiliki etos bisnis yang kuat pula. Lihatlah suku Minangkabau, Banjar, orang-orang Pidie, Bugis, atau Gorontalo. Mereka orang-orang yang memiliki jiwa dagang yang gigih dan puritan secara etik, hemat, dan sederhana.

Sejarah mencatat, sejumlah nama muslim beken sebagai pengusaha tangguh. Di zaman Hindia Belanda tercatat nama Abdul Ghany Aziz, Agus Dasaad, Djohan Soetan, Perpatih, Jhohan Soetan Soelaiman, Haji Samanhudi, Haji Syamsuddin, Niti Semito, dan Rahman Tamin.

Di awal masa kemerdekaan pun ada sejumlah nama muslim yang sempat melesat. Mereka yang diikutkan dalam apa yang dikenal dengan sebutan Program Benteng (1949-1959) juga mampu menunjukkan sikap dan kualitas kewirausahaan yang tangguh. Meski, dalam perkembangan berikutnya, posisi mereka dalam percaturan bisnis skala nasional tergerus oleh kekuatan-kekuatan yang lain.

Hingga ada suatu masa ketika posisi para pengusaha muslim amat sangat memprihatinkan. Mereka yang bergerak di bidang pertenunan, batik, dan lainnya mengalami kemunduran amat drastis. Mereka tidak mampu lagi bersaing dalam proses perekonomian bangsa yang mengarah pada kapitalisme.

Memasuki tahun 2000-an, titik terang bagi bisnis kaum muslim mulai terlihat. Di masa ini, muncul apa yang disebut sebagai gerakan ekonomi syariah. Yakni ditandai dengan kehadiran lembaga-lembaga keuangan yang dikelola secara Islami. Hasil gerakan ekonomi syariah itu memang tidak serta-merta terlihat.

Hanya saja, adanya keberpihakan ini bisa dijadikan momentum untuk mendorong atau merekonstruksi kembali tumbuhnya jiwa kewirausahaan umat Islam Indonesia. Bagaimanapun, maju atau tidaknya ekonomi kaum muslim tentu bergantung pada mereka sendiri.

Gatra edisi khusus kali ini disiapkan dengan semangat optimistis dan kejujuran hati. Bahwa di tengah carut-marut ekonomi dan bisnis nasional, sejumlah kalangan dengan etos kerja tinggi terus mencoba peruntungan. Kaum muslim ikut ambil peran penting di sana.

Kami mencoba memotret segala aktivitas bisnis kalangan muslim. Baik mereka yang bergerak secara individu maupun lewat organisasi yang terhitung rapi. Terbukti nanti bahwa mereka tidak pernah berhenti berkarya.

Untuk sementara waktu, mereka memang masih ada di taraf bisnis kelas lokal. Tapi tidak sedikit pula dari para wirausahawan muslim itu yang mulai mengintip bisnis tingkat nasional hingga internasional. Satu hal yang tidak boleh dilewatkan, para entrepreneur muslim itu bekerja dengan hati. Apa yang mereka peroleh mereka dedikasikan untuk kemaslahatan umat.

Tentu saja, cerita edisi khusus kali ini bukan sekadar catatan dan pengantar bacaan di musim libur Lebaran. Kami berharap, ini akan menjadi pijakan bagi kaum muslim untuk melangkah lebih baik lagi. Selamat Idul Fitri 1427 H. Mohon maaf lahir dan batin. (Gatra.com/Dwitri Waluyo/161006)

No comments: