Fraksi-PKS Online: Komisi VII DPR RI yang membidangi energi dan sumber daya mineral akan membentuk Panitia Kerja (Panja) Cost Recovery. Pembentukan Panja ini dilatarbelakangi meningkatnya biaya pemulihan yang harus ditanggung pemerintah pada setiap kegiatan pertambangan minyak dan gas (migas) beberapa tahun terakhir.
"Dalam Undang-undang Migas Cost Recovery tidak jelas batasannya. Buntutnya banyak sekali jenis biaya yang dimasukkan ke dalam cost recovery. Angkanya dari tahun ke tahun menjadi semakin fantastis padahal produksi kian menurun," kata Anggota Komisi VII M. Idris Luthfi di Jakarta, Jumat (12/1). baca
Diantara biaya yang selama ini menjadi beban cost recovery menurut Idris ini adalah biaya kegiatan kemasyarakatan (Community Development/ CD). Padahal mestinya CD menjadi tanggungjawab perusahaan kepada masyarakat setempat yang biayanya dikeluarkan dari laba.
Ketidakjelasan batasan cost recovery masih menurut Idris juga menyebabkan munculnya polemik tentang siapa yang menanggung kerugian akibat luapan lumpur panas Sidoarjo. Komisi VII sendiri menuntut agar semua biaya yang harus ditanggung akibat semburan lumpur adalah operator dalam hal ini Lapindo Brantas, Inc.
Kenyataannya, Lapindo akan mengklaim biaya untuk mengatasi masalah pasca semburan lumpur kepada pemerintah melalui mekanisme biaya pemulihan. Ini terungkap dalam Laporan Keuangan Triwulan III 2006 PT Energi Mega Persada Tbk yang disampaikan ke Bursa Efek Jakarta (Kompas, 9/1).
Akan dimasukkannya biaya yang dikeluarkan Lapindo dalam mengatasi semburan ke dalam cost recovery, kata Idris, sudah diprediksikan sebelumnya. "Ini yang kita khawatirkan bila status hukum Lapindo tidak juga ditetapkan."
Menurut politisi PKS ini membebankan seluruh biaya pasca semburan lumpur kepada Lapindo memang tidak realistis. Panitia Anggaran sendiri berencana membahas dimungkinkannya biaya pemulihan infrastruktur di Sidoarjo kepada APBN Perubahan 2007. "Tetapi akan sangat disesalkan bila pemulihan pipa Pertamina, listrik, telepon, hingga jalan tol akan mengesankan bahwa Lapindo tidak bersalah. Mereka jelas harus bertanggungjawab karena bagaimana pun bencana ini disebabkan kelalaian manusia dalam mengabaikan teknik-teknik pertambangan. "
Lebih lanjut Idris mengatakan dengan dibentuknya Panja nantinya ketentuan Cost Recovery akan jelas. Bahkan bila dianggap signifikan Komisi VII akan mendorong dilakukannya revisi Undang-undang nomor 22 tahun 2001 tentang Migas.
Menteri Layak Diganti
Idris menilai Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro layak untuk diganti. Selain kebijakannya yang dianggap tidak sejalan dengan Undang-undang Migas, Purnomo juga dinilai telah gagal melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya.
Beberapa hal yang menjadi patokan kegagalan Purnomo menurut Idris adalah tidak diterbitkannya beberapa Peraturan Pemerintah yang berdampak pada terhambatnya pembangunan. Diantaranya PP tentang kaidah teknik dalam pertambangan dan keselamatan kerja yang diamanahkan Undang-undang Migas serta PP tentang Undang-undang Panas Bumi.
Belum terbitnya dua PP dari Undang-undang Migas, kata Aleg asal Sumatera Utara ini, turut menyebabkan sulitnya menentukan status hukum Lapindo. "Kalau ada PP itu sebenarnya bisa dipastikan bahwa Lapindo bertanggungjawab, tidak usah berdebat apakah masuk cost recovery atau tidak."
Kegagalan Purnomo lainnya dalam penilaian Idris adalah kekacauan distribusi minyak tanah dan ketidakbecusannya dalam mendongkrak investasi di bidang energi. (fpks-dpr-ri.com/150107)